"Tidaklah anak manusia dilahirkan melainkan di atas fitrahnya, kemudian orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi." (HR. Bukhari-Muslim)

Minggu, November 23, 2008

Memangkas Birokrasi (Banishing Burreaucracy)...lanjutan

Jika di masa lalu, jika kita berbicara mengenai pengelolaan organisasi publik maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah paradigma lama dengan apa yang biasa disebut dengan sebagai ADMINISTRASI (yang paralel dengan BIROKRASI) yang mampu digunakan untuk menata organisasi raksasa seperti negara. Maka sekarang dengan paradigma baru, pengelolaan organisasi publik mengalami peralihan dari ADMINISTRASI ke MANAJEMEN. Hal ini tidak mengherankan karena MANAJEMEN baru muncul setelah revolusi industri pada abad ke-17, sementara ADMINISTRASI telah ada jauh sebelumnya yang diterapkan khususnya dalam penataan negara, MANAJEMEN pada awalnya hanya dianggap sebagai sebuah cara yang hanya mampu mengatur sebuah organisasi yang kecil, sebagaimana perusahaan.
Selanjutnya kita tentu layak bertanya, kenapa REINVENTING GOVERNMENT diperlukan ??? Pertanyaan ini menggelitik, ketika kita menyadari apa yang telah terjadi paska krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia dan fenomena pembangunan di kabupaten Sukabumi khususnya……..yang beberapa waktu lalu mendapat predikat sebagai salah satu kabupaten tertinggal.
Orde baru yang dibangun oleh Jendral Suharto pada tahun 1966 menghasilkan prestasi yang sungguh luar biasa di tahun 1986, tepat 20 tahun kemudian. Sebagai hasil dari pembangunan, Indonesia telah berhasil mengalami dua kali QUANTUM LEAF, dari negara miskin menjadi negara berkembang dan dari negara berkembang ke negara berpenghasilan menengah. Pada tahun 1966 tingkat kemiskinan lebih dari 50%, sementara pada tahun 1986 kurang dari 15%, inflasi sekitar 400% di tahun 1966 dan kurang dari 10% pada tahun 1986, bahkan pendapatan perkapita melonjak dari US$ 200 pada tahun 1966 menjadi US$ 1.200 pada tahun 1986.
Kemudian setelah sepuluh tahun masa berlakunya kebijakan deregulasi, diprediksi menjadi DEAD-END bagi keyakinan perencanaan pembangunan di Indonesia. Benar saja, pada tahun 1988 ketika PAKTO dijalankan maka tidak lama kemudian tahun 1992 ada sekitar 200 bank swasta yang bukan saja lahir dan melayani masyarakat !!! melainkan menjadi alat dari kelompok-kelompok usaha untuk menggenjot investasi. Hingga 31 desember 1997 total pinjaman luar negeri swasta mencapai US$ 73.932 miliar, lebih besar dari pinjaman pemerintah (termasuk BUMN) yakni US$ 63.462 miliar. Yang menarik jika pinjaman pemerintah mengalir dalam jangka waktu 30 tahun, maka pinjaman swasta justru terjadi hanya dalam kurun waktu 5 tahun saja !!!
Kembali kepada permasalahan organisasi publik (BIROKRASI), adalah suatu kenyataan bahwa manajemen publik adalah manajemen yang paling sulit dari segala jenis manajemen. Masalah publik yang utama bagi negara seperti Indonesia adalah kemiskinan, keterbelakangan, ketimpangan, korupsi dan seterusnya. Masalah-masalah ini sering disebut sebagai masalah pembangunan. Dan memang itulah masalah manajemen publik, dan itulah masalah yang sangat sulit di-menej- karena memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi sekaligus memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi pula seperti tergambar dalam matrik diatas.
Zona satu ; Computation Zone,
Masalah pembangunan fisik seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan, dan sebagainya berada dalam zona ini. Pekerjaannya terbatas kepada perhitungan matematik dan selesai. Untuk jenis kegiatan ini dibutuhkan kualifikasi hingga sekolah menengah, diploma dan strata satu teknik sipil. Ini merupakan sisi pembangunan yang mudah disetujui nilainya dan mudah pula dalam pelaksanaannya. Misalnya, kalau diusulkan untuk membangun jalan, maka tidak ada yang tidak setuju, caranya tinggal dihitung berapa banyak kebutuhan material, kebutuhan dana, kemudian kegiatan tersebut diimplementasikan dan selesai.

Zona dua ; Negotiation Zone,
Masalah pembangunan disini sulit disetujui namun demikian cara pelaksanaannya masih mudah. Misalnya alat kontrasepsi. Pencegahan kehamilan dalam pasangan usia subur adalah masalah yang bersifat pribadi dan menjadi pro-kontra apakah pemerintah boleh mengatur atau tidak. Di Indonesia, BKKBN boleh diacungi jempol karena dengan negoisasi yang ulet, akhirnya KB dapat diterima sebagai sebuah kewajaran bagi masyarakat khususnya para era paska 1980-an.

Zona tiga ; Judgement Zone,
Masalah yang terbesar, terberat, terbanyak dan paling mendasar berada dalam zona ini. Kemiskinan adalah salah satu contohnya, kita tahu dan kita setuju bahwa kemiskinan harus di-entaska, tetapi kriteria kemiskinan dan cara mengatasinya ternyata sangat beragam dan tidak mudah ketika kita akan menentukan cara yang dianggap terbaik. Di Indonesia kita punya berbagai ragam kebijakan dalam mengentaskan kemiskinan, seperti IDT, JPS, KPK, PPK, P2KP, Konpensasi Subsidi BBM dan sebagainya. Dan setelah sekian waktu dan sekian banyak dana yang digunakan, belum tampak secara obyektif terhadap hasil penanggulangan kemiskinan. Ternyata, memang penanggulangan masalah kemiskinan tidak akan selesai dengan hanya memberi dana dan pendampingan. Masalah kemiskinan, dengan cara tersebut adalah meningkatkan PRODUKSI, tetapi dengan asumsi yang fatal, yakni bahwa pasar dan kondisi cateris paribus selalu menyerap produksi yang ada dan meningkat tersebut. Hal ini juga terjadi di berbagai jenis kebijakan penanggulangan kemiskinan lainnya. Ini adalah masalah judgement yang baik dan benar. Dan kontrasnya justru kita banyak gagal disini karena judgementnya tidak baik dan tidak benar dan akhirnya kita gagal menanggulangi masalah kemiskinan secara efektif.

Zona keempat ; Inspiration Zone,
Zona ini lebih sulit lagi, sulit disetujui, sulit pula caranya. Kasus Papua dan Timtim dahulu misalnya, pemerintah mengalokasikan dana pembangunan yang cukup besar dan dalam jangka waktu yang sama-sama panjang dengan provinsi lain. Namum Papua dan Timtim tetap saja tertinggal dibanding dengan propinsi lainnya yang mendapatkan hal yang sama. Menurut cerita, kalau kita memberi contoh bagaimana menanam sayur-mayur di Papua maka apabila “orang lain” akan menerima dan melaksanakannya karena memiliki tingkat adopsi-inovasi, maka disana mereka diberi contohpun tetap saja masih bertanya untuk apa menanam sayur-mayur??? Belum lagi cara menanamnya. Masyarakat Timtim lebih parah lagi, mereka memiliki kecenderungan lebih sembrono, temperamental dan sulit untuk diajak bekerja.

Lalu dalam perbedaan yang begitu tajam antara kelompok masyarakat tersebut, manajemen pembangunan seperti apa yang harus dilakuakn??? tidak mudah, untuk itu perlu proses INSPIRING yang mendalam dan konsisten. Karena masalahnya tidak hanya sekedar judgement belaka, penyakitnya menyangkut nilai-nilai yang secara fundamental sangat berbeda satu sama lainnya.
Dalam perkembangan yang paling mutakhir adalah munculnya perusahaan- perusahaan multinasional dengan jangkauan melebihi jangkauan negara, perputaran bisnis yang tidak kalah dengan APBN, serta munculnya kesadaran bahwa pada tingkat tertentu NEGARA dan KORPORASI adalah SAMA!!! dan berkembangnya fakta bahwa fenomena riil dalam kehidupan adalah PASAR. Dimana pemerintahpun dipaksa melihat publik sebagai pasar. Maka otomatis pemerintah harus MELAYANI, tidak lagi MENYURUH. Dan hanya MANAJEMEN yang memiliki unsur pelayanan kepada pasar tersebut. Mau tidak mau, maka yang disebut sebagai organisasi publik (BIROKRASI) harus pula belajar kepada organisasi bisnis dengan resiko, paradigma ADMINISTRASI perlahan bergeser kepada paradigma MANAJEMEN. Karena manajemen secara generik mencakup seluruh fungsi yang dikehendaki oleh apa yang disebut sebagai administrasi, termasuk di dalamnya organisasi, , kebijakan dan tanggung jawab atau etika.
Planning mencakup pembuatan kebijakan, organizing mencakup organisasi, leading dan controlling. Barangkali manajemen bila diartikan secara sempit adalah menjalankan apa saja yang sudah menjadi keputusan politik, yakni oleh legislatif karena dalam politik selalu dikenal istilah TRIAS POLITICA, dimana legislatif sebagai pembuat aturan, eksekutif sebagai pelaksana dan yudikatif sebgai pengontrol.

Langkah-langkah menerapkan REINVENTING GOVERNMENT ;
Setidaknya ada 3 (tiga) langkah apabila kita serius ingin mempelajari dan menerapkan konsep Reinventing Government, yaitu :

1. Re-Orientasi ;
2. Re-Strukturisasi ;
3. Aliansi .

1. Re-Orientasi ;
(i) Langkah awal dalam re-orientasi adalah re-definisi, artinya organisasi publik atau apa yang kita sebut sebagai BIROKRASI harus mengalami re-definisi tentang visi, misi, peran, strategi, implementasi dan evaluasi. Bisa saja organisasi publik namanya tetap BIROKRASI tetapi dibangun dan rohnya sudah bukan BIROKRASI YANG DIPERKENALKAN PADA SEBELUM REVOLUSI INDUSTRI. Karena di era globalisasi, pemerintah sebagai organisasi publik sangat disorot keberadaannya, khususnya dalam arti yang negatif. Bahkan dalam era ini paradigma kaum liberal kuno kembali lagi, yaitu “the best government is the least government”. Publik tidak perlu diatur karena yang mengatur adalah “tangan tak tampak” . bahkan konsepsi klasik dan neo-klasik ajaran John Maynard Keynes tentang perlunya negara untuk mengatur semuanya diserang oleh para penganjur liberalisasi perdagangan dunia. Menurut Peter Drucker, bahwa selama dua abad ini kita hanya membahas apa yang harus dilakukan pemerintah dan bukannya apa yang bisa dilakukan pemerintah. Kedepan ini yang perlu kita kaji kembali, paling tidak ada tiga organisasi yang sekarang bersama-sama melakukan pelayanan publik, yaitu sektor pertama pemerintah, sektor kedua dunia bisnis dan sektor ketiga adalah organisasi nirlaba. Pemerintah melaksanakan fungsi yang tidak mungkin dilaksanakan oleh sektor swasta dan sektor nirlaba.
(ii) Re-Orientasi kedua adalah mengikuti kaidah klasik, membuat pembagian tugas antara administrasi publik dengan permainan politik. Organisasi publik harus memiliki hak untuk berkembang menjadi sebuah organisasi profesional seperti halnya organisasi bisnis. Kaidah-kaidah ke-profesionalan organisasi harus ditetapkan. Ada jenjang karir yang jelas dan didasarkan kepada prestasi (meritokrasi). Dimana jabatan tertinggi struktural dalam organisasi publik harus dipersaingkan antara pelaku di dalam organisasi publik yang sama. Dengan demikian setiap pekerja di organisasi publik akan fokus kepada kinerjanya daripada kepada faktor-faktor non teknis seperti politik, kekuasaan, ekonomi, poligami dan sebagainya. Semangat kompetisi harus diinjeksikan ke dalam organisasi publik agar dapat memacu pekerjanya menjadi optimal dalam menjalankan tugas. Kompetisi yang fair menjadi penting karena menjadi faktor pendorong bagi pembangunan nilai-nilai positif keprofesionalan organisasi. Organisasi publik mempunyai kesempatan untuk membangun dirinya menjadi sebuah sistem organisasi yang solid, kompeten, tunggal dan loyal kepada keprofesionalismenya yakni kepada visi, misi dan strategi yang diberikan kepadanya.
(iii) Re-Orientasi yang ketiga adalah membangun organisasi-organisasi KONTRA-BIROKRASI yang tugasnya menjadi kekuatan eksternal penilai birokrasi. Memang kadangkali organisasi kontra-birokrasi ini seringkali melakukan penekanan secara berlebihan, namun keberadaannya perlu sebagai COUNTERVAILING FACTOR bagi organisasi publik. Dengan demikian , kinerja organisasi publik dapat diaudit dari dua sisi, yakni organisasi publik yang lebih tinggi dan dari organisasi kontra-birokrasi.
(iv) Re-Orientasi yang keempat adalah bagaimana menjadi organisasi publik dalam konteks publik hari ini, bukan lagi semata publik domestik/lokal melainkan juga publik global. Globalisasi menjadikan arus mobilitas manusia dan organisasi berjalan melampaui batas-batas kenegaraan, bahkan tidak mengenal bendera !!! bersamaaan dengan investasi dan perdagangan mereka mengalir dari tempat yang kurang produktif ke tempat yang lebih produktif.

2) Re-Strukturisasi ;
Re-Strukturisasi berarti penataan ulang dengan pemahaman baru bahwa diperlukan penataan ulang organisasi publik, yaitu :
(i) Perampingan fungsi-fungsi yang tidak seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah. Dimana dalam hal ini organisasi publik dapat mengalihkan pekerjaan tersebut keluar namun masih memilikinya (outsourching), memberikan sepenuhnya kepada pihak luar atau bersama-sama mengelola dengan pihak luar organisasi bisnis dan nirlaba.
(ii) Menghilangkan political appointy dalam organisasi publik di satu sisi dan menata ulang bangun organisasi sesuai dengan tuntutan publik. tidak harus selalu ramping, yang utama adalah efektif. Di dalam konteks ini diperlukan fokus kepada masalah kepemimpinan. Di dalam banyak kisah sukses pembangunan organisasi, maka kunci sukses tersebut dimulai dari pemimpin yang unggul. Jack Welch yang berhasil memulihkan General Electric, Bill Clinton membawa keemasan bagi AS dan Lee Kuan Yew membawa Singapura disegani di Asia Tenggara. Untuk itu pergantian kepemimpinan di dalam organisasi publik harus mempergunakan kriteria yang bersifat ganda yaitu kemampuan yang professional dalam arti menguasai bidang yang dipimpin dan keinovatifan untuk menciptakan perubahan yang signifikan guna meletakan pembaruan dan pembangunan organisasi publik. Dalam hal ini menyangkut kriteria promosi bagi professional organisasi publik. Kriteria pertama adalah profesional dengan kinerja paling baik dan kriteria kedua adalah inovatif. Karena inovatif adalah bukan kreatif !!! Kreatif adalah banyak akal, namun inovatif adalah kemampuan untuk terus-menerus melakukan pembaruan dalam konteks perbaikan yang berkesinambungan yang menurut manajemen jepang disebut KAIZEN. Disiplin inovasi sangat diperlukan untuk mengantisipasi perubahan yang sangat cepat. Kata Peter drucker, inovasi adalah upaya untuk meningkatkan sumber-sumber daya baru dengan potensi yang tersedia untuk semakin meningkatkan kesejahteraan organisasi. Inovasi lebih penting dari pada kejeniusan sekalipun. Inovasi dihasilkan oleh pengetahuan, kedalaman dan fokus. Dan itu berarti pembelajaran tanpa henti akan menentukan sejauh mana organisasi publik mampu memiliki kepemimpinan yang inovatif dan akhirnya menjadi organisasi yang inovatif. Dan pada akhirnya inovasi harus menjadi DISIPLIN, karena seperti Drucker “we need discipline of innovation because in a readily changing society our problems are changing… new problem demand innovation solutions and we live in a world of rafid chamge..”. Di sisi lain untuk membangun organisasi dengan pembelajaran maka diperlukan kepemimpinan yang pro kepada pembelajaran dan konsep a living organization. Dan dari pengalaman organisasi bisnis yang paling lama dapat bertahan hidup dan terus-menerus menjadi teladan di dunia adalah organisasi yang dipimpin oleh pemimpin yang teladan, bukan dengan kata-kata apalagi tangan besi.
(iii) Re-Strukturisasi yang ketiga adalah bersifat eksternal. Dengan membangun hubungan yang diametral namun fungsional dengan organisasi KONTRA-BIROKRASI sabagai THE LOOKING GLASS SELF dari organisasi publik (BIROKRASI). Tentu saja, hal ini adalah paradoks !!! berhadapan secara diametral tapi harus fungsional. Tidak aneh sebenarnya karena sebagian besar hidup kita hari ini ada dalam situasi yang paradoks. Demokratisasi berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi, misalnya. Tidak ada pilihan antara, yang ada adalah membuat keduanya fungsional satu sama lain. Seperti apa yang dikatakan oleh guru MANAJEMEN-PARADOKS, Charles Handy bahwa “ sometimes it seems that the more we know, the more confused we get, that the more we increase our technical capacity, the more powerless we become, with all uor sophisticared armaments we can only watch impotenly while parts of the world kill each others. We grow more food than we need but cannot afford feed the starying , we can unravel the mysteries of the galaxies but not of our own families. To call it paradox, however is only to label it, no deal with it, we have to find way to make sense of paradoxes, to use them to show the better destiny”
(iv) Re-Strukturisasi yang keempat adalah menata sesuai dengan tuntutan desentralisasi. Restrukturisasi pada hakikatnya membuat struktur yang lebih ramping mulai dari pusat hingga ke daerah. Di pusat, ibarat holding hanya ada think-thank bukan lagi pelaksana. Di provinsi berisi middle managers yang bertugas sebagai penyelia (sekarang ini juga sebagai pelaksana) dan di kabupaten berisi para pelaksana. Konsekuensi pertama barangkali pada masa yang akan datang tidak perlu lagi kantor departemen yang besar-besar seperti hari ini. Konsekuensi kedua, birokrasi tidak boleh lagi menyelenggarakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak berhubungan tugas teknis. Pekerjaan tersebut sudah di-outsourching ke perusahaan-perusahaan swasta.
(v) Re-Strukturisasi kelima adalah menata organisasi publik agar sebangun dengan tuntutan publik global. Secara khusus, organisasi publik harus adaftif terhadap arus mobilitas modal yang melintas bukan saja antar negara tapi antar bagian negara dengan bagian negara lain. Ketika dunia sudah menjadi tanpa batas dan terbentuk negara baru yang disebut Kenichi Ohmae sebagai REGION STATES. Mereka adalah aliansi antara Korea, Jerman, India dan Indonesia dalam produk garmen, atau New York, Meksiko dan Tanggerang dalam hal sepatu merk Nike. Mereka adalah Negara yang terdiri dari bagian-bagian negara. Kata Ohmae “ they may lie entirely within or across the border of nations state. What defines them is not location of their political borders but the fact they are the right size and the scale to be the true, natural bussines units in todays global economy’. Dalam konteks yang lebih luas munculnya masalah-masalah global yang tidak mungkin ditangani sendiri oleh organisasi publik misalnya aids, terorisme, distribusi obat bius, polusi global memaksa organisasi publik untuk mampu bekerja sama dengan organisasi publik negara lain maupun organisasi publik global. Untuk itu syarat yang diperlukan adalah kompetensi kelas global seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Dengan globalisasi otomatis organisasi publik dituntut untuk menjadi ‘ a world class public organization” dengan standar manajemen dan kepemimpinan kelas dunia pula.

3) Aliansi ;
Ke depan tugas dari organisasi publik bukan saja membangun dirinya menjadi organisasi yang unggul, namun harus menjadi stimulan bagi pembentukan organisasi bisnis, organisasi nirlaba termasuk organisasi kontra-birokrasi dan menggandengnya menjadi sebuah tim kerja yang solid. Ini merupakan focus yang tak kalah penting karena potensinya sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan publik, maka organisasi publiklah yang paling berpeluang membangun organisasi yang unggul. Bukan hanya itu, namun juga menjalinnya dalam sebuah aliansi yang bernama “the Indonesian Incorporated”
Aliansi ini perlu karena pertama, harus disadari bahwa ada keterbatasan dari kompetensi organisasi publik sehingga ia harus berbagi tugas dengan organisasi lainnya. Kedua, organisasi publik yang efektif dan kompetitif tidak akan mampu membawa Indonesia mencapai visi dan misinya menjadi “a world class nation” dan bukannya seperti sindiran Sukarno, menjadi negara kuli diantara negara lain, jika organisasi bisnis dan nirlaba tidak efektif dan kompetitif.
Bahkan hari ini dan kedepan pun pemahaman kita tentang publik yang kita layani berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu, karena ia bukan saja komunitas lokal melainkan juga komunitas global, baik mereka yang bedomisili di Indonesia maupun yang secara langsung menjadi konstituen dari organisasi publik Indonesia.
Aliansi adalah pekerjaan paling sulit karena hari ini koordinasi adalah kata paling mahal untuk diperoleh. Dalam bayang –bayang kultur gotong royong kita justru menjadi bangsa yang saling curiga dan paling sarkas diantara sesamanya.
Ironi ini dapat kita perbandingkan dengan kredo filsuf modern Francis Fukuyama, bahwa saling percaya adalah modal sosial yang saling diperlukan untuk membangun keunggulan dan kompetisi global, di tengah pertarungan untuk mencapai kejayaan ekonomi yang ada di depan, ketika perbedaan kultural akan menjadi penentu utama keberhasilan bangsa maka modal sosial yang diwujudkan dalam bentuk kepercayaan akan sama pentingnya dengan modal fisik. Hanya masyarakat dengan kepercayaan sosial yang tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi bisnis berskala besar yang fleksibel. Kejayaan amerika pada kenyataannya dibangun bukan oleh etos individualisme yang banyak dibayangkan orang tapi oleh keeratan (coheveness) ikatan warga (civil association) dan kekuatan komunitasnya.
Akhirnya dalam konteks global aliansi tidak dapat dilakukan dengan organisasi domestic belaka melainkan dengan organisasi global baik publik, bisnis maupun nirlaba. Untuk keseluruhan aliansi hanya satu kata yang membuat aliansi menghasilkan sinergi, yakni tiga serangkai : EFESIENSI, EFEKTIVITAS dan PROFESIONALISME.
(ditulis pada awal April 2005 dari berbagai sumber dan pengamatan. Didistribusikan secara terbatas pada BULETIN SWARA PEMBANGUNAN PARTISIPATIF Kabupaten Sukabumi oleh Heri Hermawan)









Memangkas Birokrasi (Banishing Burreaucracy)

“Mendorong Pemerintahan Daerah Menerapkan Konsep Reinventing Government”
(Dengan membaca bagian pendahuluan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada masyarakat dan pemerintahan daerah tentang perlunya memperbaiki kinerja birokrasi / Heri Hermawan – Forum PPMS)

Ciri paling menonjol dari birokrasi adalah pemerintahan daerah yang bersifat tradisional-monopolistik. Birokrasi dapat digambarkan sebagai sistem yang dirancang orang jenius tapi untuk dijalankan (maaf-red) orang tolol. Ungkapan ini mungkin sedikit kasar, tapi mengandung kebenaran . Dalam jiwa mesin birokrasi kita tersembunyi sebuah keajaiban kontrol. Pegawai adalah sekrup dalam mesin birokrasi yang bergerak (Max Weber-red). Pekerjaan mereka dipecah menjadi berbagai fungsi dan diuraikan dengan sangat rinci. Para atasan berfikir bahwa para pegawai dapat menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka. Aturan dan prosedur dianggap menentukan perilaku, para pengawas pun memeriksa pemenuhan tugas tersebut.
"Birokrasi dapat digambarkan sebagai sistem yang dirancang orang jenius tapi untuk dijalankan (maaf-red) orang tolol"

Akan tetapi kenyataannya model ini ternyata belum bisa melayani masyarakat dengan baik. Bahkan jauh dari harapan. Saat ini birokrasi tradisional-monopolistik seperti itu harusnya sudah diubah, masyarakat tentu saja sangat meratapi kegagalan mesin birokrasi ini. Bahkan masyarakat mulai memusuhi dan sinis kepada birokrasi. Ada keyakinan yang meluas bahwa birokrasi hanya melayani dirinya sendiri, tidak efisien dan sama sekali tidak efektif. Para politisi lokal juga sebenarnya memahami hal ini, mereka tahu bahwa birokrasi tidak berjalan, hanya saja mereka tidak tahu dengan apa dan bagaimana memperbaikinya ? Dan banyak pula mereka yang berada dalam lingkaran birokrasi (bekerja di pemerintahan-red) mengetahui bahwa mesinnya tidak berjalan namun tidak dapat berbuat apa-apa. Tak ada yang menjengkelkan selain mimpi buruk birokrasi dan mereka terperangkap di dalamnya.
Tentunya, ke depan apabila masyarakat menginginkan perubahan perlu dilakukan pembaruan dan perbaikan serta inovasi sistem dan organisasi pemerintah daerah (birokrasi-red) secara kontinyu. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan konsep Reinventing Government. Reinventing Government menyajikan definisi yang jelas tentang apa yang kita maksud dengan pembaruan. Pembaruan adalah transpormasi sistem dan organisasi pemerintahan secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi dan kemampuan melakukan inovasi. Transpormasi ini dapat dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggungjawaban, struktur (pembagian-red) kekuasaan dan budaya organisasi pemerintah.
Pembaruan adalah pergantian sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Pembaruan juga dilakukan dengan menciptakan organisasi sistem pemerintah yang terus-menerus berinovasi, memperbaiki kualitas dan mempunyai dorongan dalam diri untuk melakukan perbaikan (sistem pembaruan diri)
Menurut Reinventing Government, Pembaruan adalah :
1. Bukan perubahan dalam sistem politik;
2. Bukan berarti re-organisasi;
3. Bukan merupakan sebuah kajian efisiensi;
4. Tidak sinonim dengan perampingan SOTK pemerintah daerah;
5. Tidak sinonim dengan privatisasi;
6. Tidak Sinonim dengan manajemen mutu terpadu.

Sistem pemerintahan yang bersifat wirausaha tentunya akan mengundang banyak pertanyaan karena ada banyak perbedaan antara bisnis dengan pemerintahan. Melakukan perubahan dalam organisasi pemerintah memerlukan banyak upaya politik, misalnya karena organisasi pemerintah hidup dalam lautan politik sementara bisnis hidup dalam lautan mekanisme pasar . Perbedaan yang paling mencolok adalah bahwa tujuan organisasi bisnis mencari laba semata sementara tujuan pemerintahan adalah pelayanan? Maka literatur manajemen bisnis adalah memusatkan pada perubahan organisasi bukan pada sisten tempat organisasi itu berada. Ahli manajemen menyerahkan bidang ini pada para ahli ekonomi.Dalam pemerintahan, kebanyakan organisasinya berada dalam sistem yang tidak berfungsi dengan baik. Banyak organisasi pemerintahan yang mempunyai misi ganda (bertentangan), tidak menghadapi persaingan langsung, tidak terkena dampak langsung dari kinerjanya sendiri, tidak mempunyai bottom-line yang jelas dan sama sekali TIDAK dipertanggungjawabkan kepada para pelanggan (masyarakatnya).
Realitas seperti inilah yang menjadi gaya birokrasi selama ini, khususnya di kabupaten Sukabumi, misalnya sehingga sulit untuk membangun organisasi yang bersifat wira-usaha apabila realitasnya tidak diubah terlebih dahulu. Oleh karena pendongkrak strategis terpenting dalam sektor pemerintahan terletak dalam sistem yang lebih besar, bukan pada organisasinya. Wirausahawan negara harus mengubah sistem pendidikan, sistem kesejahteraan, sistem desentralisasi, sistem anggaran, sistem regulasi, sistem kepegawaian dan sebagainya. Disini, teori manajemen bisnis bisa sedikit membantu (bersambung)

(ditulis pada awal April 2005, dari berbagai sumber dan pengamatan oleh Heri Hermawan)

Para Kades di Jampang Kulon Menuntut di-perda-kannya Alokasi Dana Desa.

PALABUHANRATU (07/04/05) Kepala Desa se-kecamatan Jampang Kulon menuntut segera diperdakannya alokasi dana desa. Hal ini terungkap dalam Lokakarya Penguatan Peran Serta Masyarakat dan Perimbangan Keuangan Kabupaten-Desa Melalui Alokasi Dana Desa di Hotel Augusta Palabuhanratu Selasa-Rabu, 5-6 April 2005.

Lokakarya yang diprakarsai oleh LPPM IPB dan LPPM Unibraw Malang tersebut dihadiri oleh para kades se-kecamatan Jampang Kulon beserta Camatnya, hadir pula Camat Jampang Tengah, Camat Kalibunder, Camat Cisaat, Camat Cibadak, Camat Sukaraja, Camat Tegal Buleud, Camat Sagaranten, Camat Nyalindung, BPKAD, Setda Bag. Ekonomi, Disperindag, Bappemdes, Bappeda, Forum PPMS dan Komisi A DPRD.

Dalam pembahasan materi terungkap bahwa UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 163 mengamanatkan bantuan bagian dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Hal tersebut diperkuat dengan Surat Menteri Dalam Negeri No. 140/640/SJ tanggal 22 Maret 2005 perihal pedoman alokasi dana desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa bupati/walikota agar menetapkan alokasi dana desa kepada pemerintahan desa dengan rincian sebagai berikut :

1) Dari bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% untuk desa di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan .
2) Dari retribusi kabupaten/kota, yakni hasil penerimaan jenis retribusi tertentu daerah kabupaten/kota sebagian diperuntukan bagi desa.
3) Bantuan keuangan bagi desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota antara 5% hingga 10%. Prosentase dimaksud tidak termasuk dana alokasi khusus.

Selain mengacu kepada surat mendagri, disampaikan pula formula perhitungan alokasi dana desa oleh DR. Maryunani dari LPPM Unibraw dan formula perhitungan alokasi dana desa dari Forum PPMS.

Diyakini oleh para kepala desa dan para peserta yang hadir, sudah saatnya pemerintah kabupaten Sukabumi legowo dengan diberikannya bagian pemerintahan desa melalui alokasi dana desa sehingga dapat memacu proses pembangunan di desa yang tentu saja menjadi ujung tombak keberhasilan proses pembangunan di kabupaten Sukabumi secara keseluruhan.

Para kades bahkan berani menjamin bahwa proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan yang berasal dari alokasi dana desa tersebut dapat dilaksanakan secara partisipatif, akuntabel, transparan dan dipertanggungjawabkan khususnya secara langsung kepada masyarakat desa. Mereka bahkan berani membuktikan dengan menunjukan fakta di lapangan, misalnya mekanisme proyek pembangunan fisik yang dilaksanakan selama ini adalah dengan menggunakan sistem swakelola dan kontraktual.

Sistem swakelola, yang melibatkan pertisipasi aktif masyarakat dinilai lebih berhasil secara kualitas maupun kwantitas pengerjaan proyek apabila dibandingkan dengan sistem kontraktual yang dilaksanakan oleh para pemborong. Yang menarik menurut mereka sistem swakelola pun kadangkala masih saja di-akali dengan dalih swakelola oleh dinas.

Pada akhir pembahasan disepakati tentang kemendesakan lahirnya perda tentang alokasi dana desa, bahkan mereka sepakat untuk mendorong lahirnya perda ini ke Komisi I DPRD kabupaten Sukabumi. Forum PPMS dalam hal ini, menyanggupi untuk membuat draft awal rancangan perda tersebut.
(ditulis pada 07/04/05 dan diedarkan secara terbatas dalam buletin SWARA PEMBANGUNAN PARTISIPATIF Kabupaten Sukabumi oleh Heri Hermawan/Ketua FPPMS ; Forum Pembangunan Partisipatif Masyarakat Sukabumi)

Laman

Powered By Blogger

Entri Populer

Entri Populer

Pengikut

Arsip Blog

sunset di calang, aceh jaya

sunset di calang, aceh jaya

Cari Blog Ini